KOMPAS.com - Bagi orang
Indonesia yang telanjur geregetan melihat tingkah polah Malaysia dalam berjiran, barangkali sebaiknya tak usah berkunjung ke Kuala Lumpur. Apalagi, jika Anda termasuk salah seorang yang bernafsu mengutuk Malaysia karena dianggap ”mencuri” produk budaya Indonesia, seperti kesenian reog dan lagu ”Rasa Sayange”.
Sekarang lupakan dulu soal klaim hak kepemilikan atas produk seni dan budaya. Lupakan juga cerita soal Tentara Diraja Laut Malaysia yang sering kali melanggar wilayah perairan Indonesia. Bukan apa-apa kalau hal-hal yang menyakitkan kita sebagai bangsa Indonesia ini dilupakan.
Toh, kita tak mampu jualan produk budaya lokal yang kaya raya itu, seperti Malaysia menayangkannya berkali-kali lewat iklan di jam utama saluran internasional, seperti Discovery Channel atau National Geographic Channel. Kita pun hanya bisa gemas melihat kekuatan militer Indonesia masih segan untuk main tembak meski konon militer asing yang melanggar wilayah kedaulatan republik ini.
Untuk soal jualan apa yang ada di dalam negerinya, agar bisa didatangi orang asing, Malaysia memang jago. Meski demikian, jika kita sadar, jualan mereka sebenarnya tak menarik. Sejak kampanye ”Malaysia Truly Asia” tahun 1999, negeri jiran ini merengkuh devisa sangat besar dari sektor pariwisata.
Tahun 2009, Malaysia bisa meraih devisa dari sektor pariwisata sebesar 15,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Negara Asia Tenggara yang bisa menandingi Malaysia pada tahun itu hanya Thailand, yang perolehan devisa dari sektor pariwisatanya mencapai 16,1 miliar dollar AS. Singapura yang luasnya sama dengan Jakarta malah berada di peringkat ketiga dengan 8,9 miliar dollar AS.
Apa yang dibanggakan oleh Malaysia dan dijadikan jualan pariwisata mereka sebenarnya bisa diperoleh hanya di satu provinsi di Indonesia. Apabila tak percaya, cobalah blejetin brosur Malaysian Tourism Board dan lihat apa saja event yang mereka tawarkan.
Jika hanya sekadar ecotourism tentang hujan hutan tropis, yang ditawarkan di bagian utara Pulau Kalimantan oleh Malaysia, tentu tak sebanding dengan luas wilayah berbagai taman nasional milik Indonesia yang ada di Pulau Sumatera atau Kalimantan. Kalau hanya festival gourmet internasional di Kuala Lumpur, menjelajahi kekayaan kuliner di kota Bandung atau Medan saja bisa bikin gempor kaki.
Jangan pula terpancing dengan tayangan yang menampilkan pemandangan menakjubkan pantai dan lautan dalam iklan ”Malaysia Truly Asia”. Surga menyelam di Indonesia tersebar dari Sabang di Aceh hingga Raja Ampat di Papua.
Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, jadi pantai seindah apa pun yang ada di Malaysia pasti kalah dengan milik Indonesia. Dan, yang pasti, Malaysia tak punya tempat berselancar yang bagus seperti Indonesia yang punya Nias, Mentawai, Banyuwangi, dan Bali.
Lantas mengapa devisa pariwisata Indonesia hanya 6,3 miliar dollar AS. Kurang dari separuh yang didapat Malaysia pada tahun yang sama. Jawaban sederhananya, yaitu karena Pemerintah Indonesia tak bisa ”menjual” kekayaan negeri ini. Lupakan dulu Bali, yang tak usah dijual pun orang berduyun datang ke sana. Meski pariwisata Bali sempat luluh lantak karena bom, magnet pariwisata Bali tetap kuat.
Inilah bedanya Indonesia dengan Malaysia. Sebelum kampanye Truly Asia, Malaysia sadar betul bahwa tak banyak yang bisa mereka jual agar
turis asing datang ke negaranya. Tagline ”Malaysia Truly Asia” begitu mengena. Malaysia merasa bangga, tiga kelompok ras besar Asia, yakni Melayu, China, dan India, di negara itu. Padahal, Indonesia memiliki lebih banyak lagi kelompok ras yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.
Jualan Truly Asia ini tentu saja slogan. Jangan bayangkan ketiga ras besar yang dimaksud dalam kampanye ini memiliki hak yang sama di Malaysia. Ada cerita menarik ketika rombongan jurnalis dari Indonesia yang meliput balapan MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia, dibawa mengunjungi Putra Jaya, ibu kota baru pengganti Kuala Lumpur itu. Kebetulan, selama tiga hari di Malaysia, rombongan jurnalis dari Indonesia ini ditemani seorang pemandu wisata keturunan India bernama Arumugan AL Chelliah, yang biasa dipanggil Aru.
Saat bus sampai di jalan utama menuju pusat pemerintahan Malaysia, Aru dengan antusias menjelaskan berbagai gedung dan kelengkapan yang sophisticated dari Putra Jaya. Mulai dari desain bangunan kantor kementerian kerajaan hingga tiang lampu jalan yang semuanya menggunakan tenaga matahari. Tentu tak lupa Aru menjelaskan, betapa dekatnya Putra Jaya dengan Silicon Valley versi Malaysia, yaitu Cyber Jaya.
”Di Cyber Jaya banyak perusahaan IT (teknologi informasi) yang melabur (berinvestasi), termasuk Bill Gates dengan Microsoft-nya yang melabur 1 juta US dollar,” kata Aru. Meski soal angka investasi Bill Gates ini kami pikir Aru setengah ngawur, tak pelak rombongan jurnalis asal Indonesia ini tetap dibuat tertegun dengan setiap detail penjelasannya.
Aru pun menjelaskan betapa di antara sekian banyak gedung kementerian yang baru dibangun di Putra Jaya tersebut dia terkagum-kagum dengan gedung kementerian kehakiman, yang menurut dia ”Mirip Taj Mahal di India”.
Begitu sampai di ujung jalan utama Putra Jaya, tak jauh dari tempat Dato Sri Najib Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia, berkantor, Aru dengan bersemangat menjelaskan Masjid Putra yang berwarna merah jambu dan terlihat seperti mengambang di tengah danau buatan. ”Inilah masjid yang sangat indah apabila dinikmati menjelang sunset,” katanya.
Namun, Aru tercekat ketika salah seorang rombongan wartawan Indonesia bertanya, ”Aru, kamu, kan, keturunan India dan beragama Hindu. Apakah di Putra Jaya ada pura tempat kamu beribadah yang juga semegah masjid itu?” Sambil tersenyum, Aru menjawab singkat, ”Mungkin ada di luar Putra Jaya.”
Sebenarnya, penjelasan pemandu wisata seperti Aru soal Putra Jaya yang begitu antusias seakan menjelaskan betapa memang
Malaysia punya keahlian menjual tempat wisata, tak peduli tempat tersebut diskriminatif bagi si penjualnya langsung. Inilah salah satu kepintaran Malaysia mengemas citra elok mereka sebagai tujuan wisata utama dunia. (KHAERUDIN)